BANGGANYA JADI GURU MILENIAL DENGAN KEKUATAN CINTA

BANGGANYA JADI GURU MILENIAL DENGAN KEKUATAN CINTA

Oleh : Gelora Mulia Lubis, S.Pd., M.Si

SMK Swasta Istiqlal Delitua, Kabupaten Deli Serdang

Pengantar

Pekerjaan guru dulu dianggap sebagai pekerjaan sepi dan melelahkan. Sedikit sekali yang memiliki cita-cita dan niat tulus ingin jadi guru. Selain kompensasi yang diterima sangat kecil, apresiasi guru kala itu terasa kering.  Orang tua lebih menggiring minat dan cita-cita anaknya pada profesi yang lebih familiar dengan sumber duit yang banyak; seperti dokter, pilot, gubernur, pengusaha, menteri, atau presiden. Pekerjaan guru masih dipandang penting dengan sebelah mata. Sebab secara umum fakta kehidupan yang dialaminya penuh kesederhanaan bahkan penderitaan.

Bagi seorang guru sejati, kesederhanaan dan penderitaan adalah sahabat setia. Keterbatasan income biasanya diantisipasi dengan kegiatan ’nyambi’ seperti berladang, bersawah, beternak atau berdagang. Jiwa guru yang sehari-harinya harus menghadapi kekurangtahuan, kenakalan dan bahkan kecerdasan siswa telah tertanam dan mendarah daging. Inilah yang diwarisi guru-guru sekaligus pejuang persatuan dan kemerdekaan kita pada masa penjajahan. Semangat belajar dan membelajarkan anak bangsa ini menemukan jati diri terus bergelora dan berpenetrasi. Sayangnya generasi muda kita belum optimal memaknai nilai-nilai pendidikan itu dalam wujud mengisi kemerdekaan ini.

Kembali kita pada persoalan penting, bahwa menjadi guru bukanlah program hidup yang tidak disengaja dan terencana. Kita pasti setuju, pekerjaan yang sangat mulia ini tidak lagi di marjinalisasi dan dianggap enteng. Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, performa profesi ini semakin bernilai. Orang tua tak perlu repot mengintervensi keinginan anaknya mau jadi apa kelak. Terlebih lagi membelokkan keinginan menjadi guru.

Keteladanan yang ditunjukkan sang guru di sekolah dan lingkungan masyarakat secara biasanya menumbuhkan simpati dan keinginan seorang anak mengikuti jejak profesinya. Ingatan kita terhadap sikap dan perilaku guru-guru saat SD, SMP, SMA bahkan mungkin perguruan tinggi, semakin mempertajam cita-cita menjadi guru. Ya, paling tidak generasi muda saat ini menyayangi dan tetap mengingat jasa-jasa mereka.

Cita-cita adalah awal sebuah proses meraih mimpi. Memiliki cita-cita berarti memiliki tujuan hidup yang jelas. Memiliki kejelasan tujuan adalah separo kesuksesan. Adapun yang separo itu adalah bagaimana kita menempuhnya. ”Carilah dari apa yang dianugerahkan Allah untuk meraih kehidupan akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari kenikmatan dunia.” (QS. Al Qashash: 77)

Bila hari ini masih bercita-cita jadi guru, mari mengacungkan jempol buat niat mulia ini. Tapi jangan coba-coba menjadikannya cita-cita kedua, ketiga atau terakhir. Mantapkan cita-cita itu dengan kebulatan tekad dan ikhtiar. Bagi kita yang kini telah menjadi guru, jadilah guru yang bercita-cita menjadi guru di lingkungan sekolah, dan  profesional bila memberi nilai bagi masyarakat luas.

Mulai dari Hati

Awali mengikuti pelatihan motivasi ini dengan paras yang berseri dan penuh semangat. Gulirkan senyum, dan rasakan atmosfir kebahagiaan itu.  Berbahagialah kita yang terus mensyukuri pemberian hati yang bersih. Berbahagialah hidup bila dibingkai dengan hati yang tulus. Berbahagialah jiwa yang tetap memelihara hati dalam menjalankan pekerjaan sebagai bentuk ibadah kita kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Dengan kebersihan dan ketulusan hati yang terpelihara, kita berupaya memberikan kontribusi nilai yang bermanfaat bagi semua orang, dan terlebih lagi siap menjadi sosok yang pantas diteladani dalam kehidupan.  

Sekarang, ambillah waktu untuk berhening sembari mengingat-ingat, saat kecil pertama kali diperkenalkan pada seorang guru di tingkat Taman Kanak-kanak atau Sekolah Dasar? Bayangkan, senyum manisnya terlihat sejuk menyambut kehadiran kita. Dengan penampilannya yang sederhana, wangi, dan perkataannya yang lembut, seolah mewakili semangatnya bersedia menjadi bagian dari masa kecil kita.

Hal senada dengan kedua orangtua  yang sangat gembira dan antusias melepas kita, seolah-olah mereka mengikhlaskan sepenuh hati anak manisnya dididik sang guru. Dua kekuatan keikhlasan pun berpadu, tentunya akan melahirkan semangat yang dahsyat bagi kita untuk memulai pengalaman hidup. Pengalaman hidup bersosialisasi dan mendapatkan nilai-nilai kebaikan melalui proses pembelajaran. Dan saat itu sebagai anak kita telah menemukan rumah kedua, dan guru pun telah menjadi orangtua kedua dalam kehidupan kita.

Sang guru selanjutnya melakonkan peran seperti ayah yang memberi terang dan payung pada rumah kita, atau seperti ibu yang memandikan kita dengan celoteh indah, pujian dan nasihat. Peran multifungsi yang dimiliki sang guru, tidak heran kalau sang siswa menaruh kagum dan menganggapnya sebagai sosok yang hebat. Sosok yang sangat dirindukan untuk menemaninya mengisi hari. Bahkan tidaklah berlebihan bila kerap siswa lebih mendengar dan membenarkan perkataan sang guru daripada perkataan ayah dan ibunya di rumah. Siswa lebih merasakan kegembiraan dan kedamaian bila bersama guru. Posisi guru boleh jadi menjadi super hebat layaknya tokoh Superman dalam film. Banyak nilai-nilai yang diperolehnya dapat membentuk dan menumbuhkembangkan psikisnya di sekolah, dibanding di rumah. Terutama bagi orangtua yang sehari-harinya dijejali rutinitas pekerjaan di luar rumah.

Sampai disini, sang guru telah teramat cerdas memainkan perannya. Mendidik dengan hati. Naluri seorang ayah atau ibu pun hadir dengan kekuatan hati. Guru pun tidak segan-segan membantu siswa merapikan baju, rambut, dasi atau jilbabnya yang tidak rapi. Mendampingi dan memberi pertolongan awal saat siswa lelah dan sakit.  Produk keikhlasan yang berwujud sikap dan perilaku guru berbuah pengaruh yang positif dalam membelajarkan anak. Hal ini sangat sesuai dengan makna pendidikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Kondisi ideal pendidikan memiliki sistem yang ditata rapi, namun tidak jarang kita menemukan potret buram yang justru dimainkan sang guru. Kekuatan citra positif dan predikat guru sebagai pengemban dan sutradara panggung pendidikan kerap digugat dan dipersoalkan kembali, bila sikap dan perilaku belum atau tidak sepenuhnya mencerminkan sosok yang di-gugu dan ditiru. Meski pemainnya hanya segelintir, namun masyarakat kerap menggeneralisasi.  

Jadi Guru Seutuhnya

 Pertanyaan sederhana dan berkesan menggelitik, apakah saya sudah menjadi guru sebenar-benarnya guru? Atau mungkin saya masih menjadi setengah hati menjadi guru?  Bagaimana bisa muncul pertanyaan yang tidak mengenakkan ini, padahal kita sudah melakoni diri layaknya seorang guru yang bertugas mengajar di sekolah. Apakah seorang guru hanya menggugurkan kewajiban mengajar, dan mengevaluasi peserta didik saja?

Berkomitmenlah bahwa kita semua adalah guru. Guru dalam kehidupan yang menerima nilai kebenaran dan menyampaikan nilai kebenaran itu. Yang menerima segala keburukan namun berupaya mencegah keburukan itu. Kita telah banyak belajar menjadi diri sendiri, menghargai serta memenuhi hak hidup orang lain. Kita telah lulus dari kampus perguruan tinggi keikhlasan. Kita telah banyak berbagi kasih kepada keluarga dan masyarakat. Terlebih lagi kita telah berbagi amal kebajikan demi investasi kebahagiaan akhirat. Bukankah kebahagiaan itu yang sesungguhnya kita dambakan setelah kehidupan ini. Kita akan kembali ke kampung akhirat dengan banyak bekal menuju pintu surga.

Temukan mimpi, meski kenyataan mimpi itu tidak bulat kita dapatkan. Namun sadarkah, bahwa dalam proses meraih mimpi itu kita akan banyak mengikuti perkuliahan yang tak terhitung jumlah sistem kreditnya, sehingga kita akan diberi predikat sang Pemenang. Kita  akan memenangkan pertarungan dan berada di puncak mimpi; menjadi guru yang sesungguhnya. Yakin dan aminkan.

Deklarasikan sebuah tekad kuat untuk berhasil. Tugas kita berikhtiar tanpa batas waktu demi sebuah kesuksesan. Kesuksesan kita menjadi guru tidak hanya dipandang secara kasat mata dengan kelebihan materi, namun perubahan mental dan tekad kuat memperbaiki kesalahan. Kita semua tangguh mengatasi persoalan hidup dengan energi ikhtiar yang kita miliki.  Bukankah kita diciptakan Tuhan sebagai khalifah fil Ardh (pemimpin di muka bumi). Sejatinya kita semua rahmat bagi alam. Itu artinya kita harus siap menjadi guru bagi seluruh alam. Nyatakan saya siap menjadi guru.

Kita tidak sendiri. Kita ada bersama masyarakat. Kita akan bersahabat dengan orang tua pemilik anak yang siap kita bentuk. Rencanakan kolaborasi dengan komunikasi yang intensif. Jadi, posisi kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Kita semua adalah mitra orangtua, masyarakat, bahkan pemerintah dalam membentuk akhlak mulia untuk mencerdaskan anak bangsa. Sekarang, marilah menghirup udara segar dalam-dalam, kemudian hembuskan perlahan, nikmati hari yang damai, duduk bersama, kemudian mendiskusikan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 ayat 1 yang menegaskan bahwa, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya adalah mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, serta pada jenjang pendidikan dasar, menengah, termasuk pendidikan anak usia dini. Luar biasa lengkap tugas mulia ini.

Eksistensi guru dalam proses mengajar tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban, namun yang menjadi catatan penting adalah bagaimana kualitas dan keberhasilan guru dalam membelajarkan. Keberhasilan pun tidak hanya diukur dari aspek keberhasilan seorang peserta didik (murid) mendapatkan nilai yang tinggi, tetapi yang lebih penting adalah sejauh mana seorang guru membangun dan menanamkan nilai-nilai akhlak mulia dalam konteks kehidupan sehari-hari. Sehingga kemudian diharapkan anak-anak didiknya menjadi anak yang mempunyai karakter, disiplin, mandiri, jujur dan selalu berusaha meningkatkan kemampuan dirinya.

Selanjutnya guru memiliki peran penting dalam membangun tradisi (budaya) kejujuran di lingkungan sosial akademiknya. Profesionalitas guru merupakan keniscayaan. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu. Oleh karena itu guru yang profesional memiliki karakter yang kuat dan dinilai memiliki integritas yang tinggi.

Guru hebat adalah guru yang kaya ide, inovasi, dan karya bermanfaat. Gemar mengukir prestasi. Guru hebat adalah  guru yang berintegritas sebagai sosok pendidik yang menjunjung tinggi nilai-nilai, dan konsisten menyelaraskan sikap, kata dan perbuatan sesuai dengan predikat sebagai orang yang diteladani. Namun sayangnya integritas guru kerap dipertanyakan ketika sang guru itu sendiri kurang dapat memainkan peran penting di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya bahkan masyarakat tidak merasakan eksistensi dan manfaat sang guru.

Dulu sosok guru sangat dihormati dan dimuliakan. Meskipun penghasilan kecil, tidak melunturkan semangat dan mengurangi ketulusan untuk mendidik. Sebagian guru justru melebarkan kiprah sosialnya sebagai ustaz, bilal mayit, pendeta, sekretaris desa, atau pengurus serikat tolong-menolong yang dikenal dengan istilah STM. Eksistensinya sangat diperhitungkan. Meskipun banyak masyarakat menganggap menjadi guru adalah jalan sunyi dan melelahkan. Namun bagi mereka yang memilih profesi ini merasakan kenikmatan yang tidak terucapkan. Sebab kekuatan hati telah berbicara.

Kita masih ingat kondisi masa lalu. Pekerjaan guru dianggap pahlawan tanpa tanda jasa layaknya lilin pemberi terang. Biasanya jika ditanya kepada anak, “Apa cita-citamu kalau sudah besar?” maka sang anak pun menjawab, “Jadi presiden, dokter, polisi, atau tentara…” Pertanyaan berikut, “Maukah jadi guru?” Sang anak pun merespons sambil mencibir , “Tidak mau jadi guru, capek menghadapi anak-anak nakal… Lagipula gajinya kecil…” 

Jalan sunyi kini menjadi ramai ditumbuhi pepohonan yang memberi buah cinta yang lebat. Kekuatan niat pun menjadi cahaya terang pada redupnya nilai rupiah yang diterima. Integritas pun semakin nyata dengan adanya upaya program sertifikasi yang digulirkan pemerintah. Terlepas nilai rupiah yang diterima bergerak naik secara signifikan, komitmen menjadi guru seutuhnya adalah harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hirup kesegaran pernyataan ini.

Rasakan Berwisata di Sekolah

Pejamkan mata, bayangkan sejenak indahnya pemandangan alam pegunungan. Udara sejuk, penuh pasokan oksigen dan memberi penyegaran mata. Pandangan mata terasa terang benderang, kulit mengencang, dan kepala pun terasa dingin. Setiap hela nafas ada kebahagiaan yang tak terucapkan. Rasanya ingin berlama-lama menikmati alam ciptaan Tuhan.

Setelah berjam-jam di daerah pegunungan yang serba hijau dan di penuhi pasokan oksigen, selanjutnya rasakan damainya alam pantai dan laut. Kicauan burung terdengar harmonis bagai alunan simfoni orkestra, perpaduan musikal desiran angin dan deburan ombak menghempas bibir pantai. Dapat dipastikan kita  ingin merasakan lebih lama bermesra dengan mahakarya yang luar biasa ini.

Usai menikmati keindahan alam pegunungan dan pantai, kini coba  bayangkan kita berada di sebuah plaza pusat perbelanjaan. Gemerlap sinar lampu, pajangan produk yang elegan, serta aneka warna dekorasi interior yang memesona, berangsur-angsur akan membuat kita takjub. Jemari  pun tak sabar segera merogoh dompet membelinya. Tak sampai di situ, marilah sejenak membayangkan nikmatnya berwisata kuliner. Kita pasti tentukan nama lokasi, jenis makanan dan saat kapan enaknya menyantap. Luar biasa berhasilnya memanjakan diri, dan sepertinya tidak ingin segera mengakhiri.

Bagaimana kalau besoknya, kita harus kembali pada rutinitas mengajar. Bisa dibayangkan, suasana hati dan pikiran yang menyelimuti kita? Mungkin menjawab, ”Ya biasalah, namanya tugas rutin, tetap harus dikerjakan!”  Ada juga yang menjawab, ”Waduh, pusing kembali ke sekolah! Banyak tugas dari kepala sekolah buat rencana pembelajaran, program semester, program tahunan, belum lagi peraturan ini peraturan itu.” Atau ada lagi menjawab, ”Kembali stres deh, bertemu siswa-siswa bandal bin nakal!”

Selain jawaban-jawaban di atas, dapat dipastikan tanggapan akan lebih beragam yang intinya senang, kurang senang, atau biasa-biasa saja. Pertanyaan sederhana, kita di pihak yang mana? Tersenyumlah sesaat, sinergikan asumsi bahwa setiap istilah wisata itu pastilah kondisi yang menyenangkan.

Segala puji untuk Allah. Sekarang, coba kita sepakati bahwa sekolah adalah tempat wisata. Semua kegiatan yang kita lakukan di sekolah adalah kegiatan wisata. Betapa nikmatnya berwisata di sekolah. Hamparan bangku dan meja di kelas bagai pepohonan yang meliuk-liuk diterpa angin basah pegunungan. Gedung sekolah meski berdinding papan atau triplek yang mulai mengeropos justru kita rasakan seperti di dalam sebuah hotel atau mal pusat perbelanjaan mewah yang semakin membuat  betah berlama-lama. Apalagi senyuman dan keceriaan anak-anak cerdas laksana riuh kicauan burung di pagi hari, semakin memberi inspirasi dan energi. Sekolah bagai taman wisata yang tak bosan-bosan dinikmati. Olala, indahnya sekolah…

Tunjukkan dengan Kekuatan Kompetensi

Guru harus merdeka. Dengan ruang kemerdekaan yang dimilikinya, ia lebih bebas melakukan apa saja untuk sebuah perubahan yang melekat pada profesinya. Merdeka menghadirkan pembelajaran yang berkualitas. Merdeka menciptakan suasana belajar yang merdeka pula bagi peserta didik. Sebab kemerdekaan adalah hak setiap jiwa yang diberikan Tuhan.

Guru profesional berkekuatan cinta memiliki komitmen memegang dan menjunjung tinggi kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Berbagai cara dilakukan untuk membangun dan mempertahankan profesionalitas guru, baik bersumber dari diri sendiri maupun dari pihak lain. Upaya-upaya yang harus dilakukan sebagai bentuk pengembangan diri dalam membangun integritas  diramu dalam kemasan kekuatan hati untuk tetap mencintai profesi yang mulia ini.  

Saat ini kita dituntut memiliki kekayaan kompetensi, yang secara simultan pula kaya teknik dan strategi menghadapi pertempuran di bumi pendidikan. Hal ini sangat sinergis dengan tuntutan Unesco (dalam Kemdikbud, 2013:35) menegaskan bahwa kompetensi adalah kemampuan individu dalam menggunakan pengetahuan bagaimana caranya, keterampilan dan pengetahuan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.

Guru yang berintegritas dalam melaksanakan tugasnya sudah pasti memiliki kompetensi yang tinggi. Kompetensi mengandung pengertian pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan tertentu. Kompetensi dimaknai pula sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir, dan bertindak. Kompetensi dapat pula dimaksudkan sebagai kemampuan melaksanakan tugas yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan (Nurhadi, 2004:15).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal. Menurut Nugraheni (2012:107) bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Hal itu menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan sikap dan apresiasi yang harus dimiliki peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu.

Kompetensi yang harus dimiliki guru seperti kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Kompetensi pedagogik tercermin dari tingkat pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian tercermin dari kemampuan personal, berupa kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial tercermin dari kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Dan kompetensi profesional tercermin dari tingkat penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya (Kemdikbud, 2013:30).

 Guru yang kompeten akan memberikan “trust” atau kepercayaan kepada peserta didik untuk diisi layaknya gelas kosong. Mereka akan sangat menyambut kehadiran guru dengan segunung harapan akan mengantar mereka ke gerbang kesuksesan masa depan. Johnson (2009:16) menyatakan ketika murid-murid percaya bahwa kesuksesan itu mungkin, mereka akan mencoba. Jika mereka tidak yakin dapat sukses, semudah apa pun materi atau sepandai-pandainya murid, mereka akan gagal. Pernyataan ini setidaknya menyulut semangat profesionalitas kita agar tetap konsisten memberikan kualitas pembelajaran bagi peserta didik.

Marilah menguatkan hati untuk berupaya dan konsisten menjunjung tinggi nilai profesionalitas. Ketangguhan kita memainkan peran di belantara pendidikan khususnya di ruang pembelajaran sangat ditunggu peserta didik. Yakinkan mereka bahwa kitalah panglima perang yang tanggon atau mumpuni. Seorang panglima perang pastilah cerdas dalam menyusun strategi. Kecerdasan kita dituntut mempersiapkan dan melaksanakan metode dan model pembelajaran. Misi nyata kita adalah menumpas rendahnya minat dan kemalasan siswa. Mengibarkan bendera kemenangan dalam wujud prestasi dan kualitas pembelajaran.

Katakan Saya Guru Milenial

Perkembangan teknologi komunikasi melesat sangat cepat di abad 21 ini, tak berlebihan bila dikatakan secepat anak panah lepas dari busurnya. Keadaan ini menyebabkan banyak informasi dapat secara mudah diakses, sehingga berpengaruh pada dinamika hubungan komunikasi di masyarakat. Layaknya sungai, teknologi informasi arusnya semakin kuat mengaliri setiap ruang kehidupan.  

Bagi dunia pendidikan kemajuan teknologi ini merupakan media sekaligus alat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Pembelajaran kini berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Pembelajaran berbasis TIK sangat lekat dengan kehidupan manusia di zaman modern ini. Media-media pembelajaran yang bersumber dengan perangkat komputer dan jaringan internet sangat leluasa disajikan dalam ruang pembelajaran. Tentulah peran guru sangat penting dalam mengemudikannya.  

Kemdikbud (2013:213) siswa sudah terlahir dalam dunia telematika yang canggih, sementara guru mengenal teknologi canggih setelah dewasa. Siswa lebih cepat belajar dalam menggunakan teknologi digital daripada orang dewasa atau gurunya. Lingkungan dan perilaku mereka banyak dipengaruhi pesatnya teknologi komunikasi. Menyikapi hal ini seorang guru yang cerdas akan berusaha melakukan perubahan dengan menguasai teknologi digital (digital literasi), mampu berpikir kritis dalam memecahkan masalah serta kreatif dan inovatif dalam bekerja.

Dalam proses pembelajaran, peran peserta didik sebagai pemberi informasi akurat dan penggunaan teknologi, tidak boleh dianggap remeh. Soal keterkinian teknologi informasi ironisnya peserta didik-lah yang lebih tahu. Fenomena ini memaksa kita berbuat lebih agar dapat mengimbanginya. Tantangan nyata saat ini, seorang guru bukan lagi sosok yang dianggap sebagai Superman atau ‘serbatahu dan serbabisa’, jika tidak mau melakukan sebuah perubahan. Lebih tegas dalam konteks ini kita perlu terus belajar pada perubahan zaman sampai kapan pun.

Guru diharapkan cerdas menyusun jadwal belajar, memperkaya wawasan dan meng-update ilmu pengetahuan. Wawasan diperlukan mempelajari dan mengadaptasikan perilaku sosial khususnya siswa menghadapi pesatnya pekembangan teknologi. Ilmu pengetahuan dapat menyeimbangkan tuntutan dan kebutuhan siswa dalam belajar. Jika kita berhasil melakukan keduanya, dapat dipastikan mampu menghadapi pembelajaran di abad 21 ini. Itu artinya kita menjadi bagian pemilik zaman.

Guru sukses adalah guru yang berhasil mengantarkan pembelajaran dan mendidik siswa mengenal dunia dan potensi diri untuk menemukan masa depan mereka. Kompetensi guru harus terus diasah, tidak hanya menghadapi program pemerintah melalui Uji Kompetensi Guru (UKG) Guru Pembelajar, namun sebagai bekal mempersiapkan diri menghadapi tuntutan mutu pendidikan. Mengasah kompetensi adalah kebutuhan.

Sering kita mendengar peserta didik berada di abad 21, namun guru masih belum keluar dari abad 20. Pendapat tersebut tidaklah berlebihan, bila melihat kondisi guru yang masih mengajar asal-asalan di sebagian sekolah. Jurus andalan guru pun masih CBSA (catat buku sampai abis), atau memberi siswa hapalan materi pelajaran.

Ayolah bergerak! Teknologi semakin canggih. Sekolah pun telah menjadi rumah teknologi dalam pembelajaran. Idealnya,  dipastikan tidak ada lagi guru yang gagap teknologi; tidak bisa mengoperasikan komputer, laptop, infocus, dan mengaplikasikan perangkat lunak (software) seperti Microsoft Word, Microsoft Excel, Microsoft Powerpoint dan lainnya sebagai media dan alat pembelajaran.

Teknologi AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan manusia semakin cepat berlari, sementara masih banyak guru berjalan terseok-seok. Revolusi industri 4.0 pun akan beringsut ke 5.0. Sinyal kuat ini seakan tidak memberikan toleransi bagi setiap guru yang jalan di tempat. Kini kita sudah menjadi pendatang di era digital. Sementara generasi yang tumbuh saat ini dengan bangganya menyatakan diri sebagai penduduk asli di negeri digital. Sampai disini, integritas kita sebagai guru semakin diuji; siap atau menyerah?

Keran pengembangan diri telah dibuka lebar-lebar, sehingga memungkinkan kita mendapat pasokan informasi yang sangat deras. Jadi, jangan biarkan meluber tidak memberi manfaat. Saat ini guru dituntut cerdas mengakses dan menindaklanjuti semua program tersebut. Sebagai contoh bila guru membutuhkan informasi kini sudah tersaji di internet, komunikasi pun berjalan secara online atau daring (dalam jaringan). Bukankah dunia informasi sudah dalam genggaman kita melalui  smartphone. Tak ada alasan lagi, guru ayolah move on!

Kesimpulan dan Harapan

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1 UU No. 14 Tahun 2005). Guru yang profesional adalah guru yang memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu. Oleh karena itu guru yang profesional memiliki karakter yang kuat dan dinilai memiliki integritas yang tinggi.

Guru hebat adalah guru segudang ide, inovasi dan prestasi. Guru hebat adalah guru yang berintegritas sebagai sosok pendidik yang menjunjung tinggi nilai-nilai, dan konsisten menyelaraskan sikap, kata dan perbuatan sesuai dengan predikat sebagai orang yang digugu dan ditiru. Namun sayangnya integritas guru kerap dipertanyakan ketika sang guru itu sendiri kurang dapat memainkan peran penting di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya bahkan masyarakat tidak merasakan manfaat dari eksistensi sang guru. Di samping itu, tidak sedikit pula guru melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Guru juga malas mengembangkan diri dengan menulis, menggagas dan melaksanakan pertemuan ilmiah, kurang melibatkan diri dalam pembimbingan siswa, dan guru tidak peduli dengan organisasi profesi.

Beberapa harapan yang sangat sederhana penulis tawarkan sebagai bekal guru penggerak di era milenial ini:

a.Pegang teguh niat dan tekad menjadi guru profesional. Ciptakan karya dan inovasi dalam dunia pendidikan. Karya guru  adalah mendesain pembelajaran yang berkualitas bagi siswa, dan mempersiapkan produk pembelajaran (lulusan) menemukan masa depan mereka yang berkarakter kuat dan kompetitif. b.Berbagi dan melibatkan diri terhadap kesulitan siswa. Kesulitan siswa meliputi kesulitan psikis maupun materialnya. Bukankah hidup ini lebih bermakna bila setiap orang mau berbagi. c.Maju bergandengan tangan melangkah bersama siswa menjadi bagian dalam era kemajuan teknologi. Belajar tak berbatas usia dan waktu. Teruslah menjadi Guru Pembelajar. d.Memperkuat integritas, tidak hanya berkaitan dengan kompetensi pedagogik, dan profesional,  tetapi juga dengan peran sosial,  memiliki kepribadian yang tangguh, jujur, dan religius dengan konsisten.

Referensi:

Johnson, LouAnne, 2009. Pengajaran yang Kreatif dan Menarik, Indeks, Jakarta.

Kemdikbud,2017. Penguatan Pendidikan Karakter,

http://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/

Lubis, Gelora Mulia, 2010. Sepotong Janji, Indiva Media Kreasi, Surakarta Solo.

Nugraheni, Sri, Aninditya. 2012. Penerapan Strategi Cooperatif Learning Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia, Pedagogia, Yogyakarta.

Nurhadi, 2004. Kurikulum. Grasindo, Jakarta.

Undang-undang No. 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen

*) Penulis adalah Guru SMK Swasta Istiqlal Delitua, Guru Berprestasi Tingkat Nasional dan Peserta Terbaik Lomba Best Practice Guru Kemdikbud Tingkat Nasional Tahun 2013.

<