Oleh : Erlina Anriani Siahaan
SMP Negeri 4, Kota Pematang Siantar
Oran adalah sebuah kota yang membosankan–demikian Goenawan Mohamad mengisahkannya dalam Catatan Pinggir–sebelum sampar menyerang kota tersebut. Orang-orang bekerja, bercinta, lantas mati dengan kedataran yang sama. Penghuni Oran menyukai “kesenangan-kesenangan sederhana”: pacaran, melirik lawan jenis, nonton bioskop, dan sangat menyukai mandi-mandi di laut. Namun, tiba-tiba wabah menjangkit–dari novel Albert Camus La Peste yang diterjemahkan Nh. Dini sebagai Sampar–wabah pes ini tidak semata membawa kematian ratusan orang, tetapi mengingatkan orang-orang apa artinya hidup sebelum ajal.
Semua bermula ketika Dr Bernard Rieux–dokter yang hidup menyendiri dan berjarak dengan sekitar–menginjak mayat seekor tikus di tangga turun klinik bedahnya, menyadari ada yang tidak beres dengan tikus tersebut. Wabah itu kemudian mengancam seluruh Oran. Meski sekilas mirip petani Sisilia, dengan tampang pas-pasan: tinggi sedang, dengan warna kulit agak gelap, rambut hitam cepak, tidak punya tampang sebagai dokter bedah yang dikagumi–bagaimanapun Rieux adalah dokter yang bekerja profesional. Ketika sampar mulai menjangkit luas, Rieux melawannya mati-matian dan tanpa ampun: meminta pemerintah kota menutup Oran, memberikan pengobatan bagi yang sakit, dan membangun klinik-klinik untuk memberikan pertolongan yang lebih cepat.
Hal yang mengagumkan dari kisah ini, meski Rieux melakukan gerakan masif, baginya ini bukan soal heroisme pula. Baginya ini semacam kepatutan yang biasa, sikap yang barangkali dicemooh oleh sebagian orang. Semula, beberapa sahabatnya bahkan mengecamnya. Namun, Rieux tidak memedulikannya sama sekali dan terus memberi pertolongan dan siapa sangka sahabatnya, Tarrou dan Rambert kemudian menjadi teman perjalanannya melawan sampar di Oran. Tarrou yang semula sangat menentangnya bahkan sangat mengaguminya, meski ia belum sepenuhnya memahami alasan mengapa Rieux bisa bertindak segila itu.
“…kemenangan-kemenanganmu tak akan pernah kekal,” kata Tarrou.
Ketika sahabatnya berkata demikian, wajah Rieux muram sejenak. “Ya, aku tahu,” jawabnya. “Tapi itulah sebabnya tak ada alasan berhenti memperjuangkan ini.” Rieux menjawab tegas. Ajaibnya, sampar mereda dan kota kembali pulih pelan-pelan. Kisah ini mengisahkan pengalaman luar biasa yang barangkali tak bisa dan tak mudah disimpulkan, tetapi barangkali secara tentatif simpulannya adalah: lihat, ada yang lebih kuat ketimbang sampar. Aku menyimpulkan ini dengan mengimajinasikan andai aku diberi kesempatan bersua dan bertutur dengan Rieux, maka percakapan kami barangkali demikian:
Aku: “Dari mana anda belajar ini, Dokter?”
Rieux: “Dari penderitaan … dan dari mereka yang tidak berdaya.”
Kisah sampar sebagai wabah mematikan serupa problema pendidikan kita yang sepertinya sulit kita ubah. Peran minoritas kita sebagai guru membuat ruang yang dapat kita jamah dan kendalikan sangat terbatas. Keterbatasan dan ketidakberdayaan dalam ruang pengambilan kebijakan dan penetapan keputusan sering membuat kita sekadar menjalankan peran sebagai guru semata. Hal ini tergenapi dalam perjalananku. Ketika memasuki dunia pendidikan, menyadari betapa menyedihkannya kondisi kelas; kebijakan di lapangan yang dijalankan tidak sesuai dengan yang seharusnya; dan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah terpola, membuatku merasa terpenjara. Aku lantas mulai melakoni hobi baru: menekuri buku-buku, mempelajari hal-hal baru, menjadi guru belajar, dan mencari teman-teman seperjalanan yang bisa kujadikan role model atau sekadar teman menemukan ide.
Menjadi ketua organisai profesi guru di Komunitas Guru Belajar, Belajar Era Digital, dan MGMP IPA Kota Pematangsiantar adalah beberapa warna proses belajar luar biasa yang mengubah paradigma berpikirku dan bisa mengikuti Program Guru Penggerak (PGP) Kemendikbudristek adalah gerbang pembukanya sejak semula. Selama pendidikan, pelan tetapi pasti, aku melihat problematika pendidikan di sekitarku sebagai tantangan untuk mengambil peran yang meski tidak bisa semasif yang dilakukan Rieux di Orlan, tetapi meminjam istilah Nadiem Makariem yang mengatakan, “apa pun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak.” Kisah Rieux barangkali adalah cerminan bagi kita untuk terus mandiri mencari cara dan solusi bagi murid kita. Diperlukan kegigihan dan konsistensi untuk terus membawa perubahan sejak dari ruang kelas kita.
Pembelajaran Berdiferensiasi: Strategi dan Pengaruhnya pada Ruang Kelas
Berbicara sebagai guru, ruang kelas selalu menjadi padanan tak terlepaskan dari kesehariannya. Berbicara ruang kelas, ini sama seperti berbicara tentang pendidikan. Meminjam istilah Najeela Shihab, bicara tentang keduanya, kita bicara soal masa depan dan itu tak pernah mudah. Hal ini senada dengan yang diutarakan Bukik Setiawan, Ketua Yayasan Guru Belajar, ruang kelas bukan sekadar ruang belajar, tetapi harus menjadi ruang bernyawa yang mampu menumbuhkembangkan murid untuk mempertajam kecerdasannya, memperkukuh kemauannya, serta memperhalus perasaannya.
Bukik Setiawan mengatakan, “Ruang kelas bukan untuk menjejalkan pengetahuan, bukan sebatas ruang bagi guru menjalankan pekerjaan. Ruang kelas adalah cerminan kehidupan murid nantinya. Ruang kelas yang segala kegiatannya relevan sebagai solusi kehidupan akan membangun pemikiran murid menjadi pemimpin dan penggerak aksi perubahan. Tumbuh berkelanjutan melampaui ruang kelas.”
Ruang kelas diharapkan melatih murid demokratis dan menghargai keberagaman akan membangun kebiasaan murid bersepakat dalam perbedaan. Ruang kelas yang peduli pada fenomena dan kebutuhan komunitas akan mengembangkan murid yang berempati dan peduli pada kelestarian kehidupan. Pernyataan Bukik Setiawan bukan merupakan keniscayaan untuk membangun ruang kelas yang bernyawa. Hal ini sangat memungkinkan untuk direalisasikan, bahkan dijadikan kebiasaan-kebiasaan di keseharian sekolah dengan menguasai keempat kompetensi, yaitu sosial, kepribadian, profesional, dan pedagogik dengan mahir. Persoalannya, apakah guru sudah menguasai kompetensi tersebut?
John C. Maxwell dalam bukunya Good Leaders Ask Great Questions mengatakan guru harus mampu memantik murid sehingga murid dapat hadir secara penuh di ruang kelas dan belajar dengan riang gembira. Persoalannya perihal pengajaran dan suasana kelas sepertinya memang tidak semuluk-muluk itu. Persoalan terbesar di ruang kelas adalah ketika murid tidak merasa belajar apa-apa, sementara guru merasa sudah mengajar, bahkan dengan performa terbaik.
Permasalahan di kelasku, aku sering melihat tatapan-tatapan kosong murid ketika aku masuk. Apakah mereka merasa sekolah adalah hukuman? Ah, sering ini menjadi hal yang membuatku serba salah. Sungguh ini dilematis sekali! Sebagai guru IPA yang harus mumpuni mengajar pasca pandemi covid-19—yang tentu belum sembuh dengan segala fenomena menjengkelkan learning loss—yang masih akut diidap murid, aku juga harus mampu menemukan pemahaman konsep di tengah keterbatasan selama proses belajar.
Sekolah negeri di daerah, dengan latar belakang murid menengah ke bawah memang menghadirkan pengalaman ngeri-ngeri sedap yang mau tak mau harus dinikmati. Keberagaman karakter, pengetahuan awal (intake), perbedaan minat dan bakat, bahkan perihal perbedaan suasana hati yang dibawa murid ke kelas ternyata menjadi indikasi yang akan menentukan kualitas pengalaman belajar yang tidak semata riang-gembira, tetapi juga bermakna. Pengorganisasian keberagaman warna yang membawa kepada perbedaan kebutuhan belajar ini mau tidak mau mengharuskanku memahami pembelajaran berdiferensiasi pula. Pertanyaan reflektifnya barangkali, mengapa harus pembelajaran berdiferensiasi?
Tomlinson mengatakan tidak ada sebuah formula pengajaran yang cocok digunakan untuk semua tipe murid dalam satu sesi pembelajaran dan tidak ada sebuah rencana pengajaran yang dapat mengakomodir semua gaya belajar, semua pendekatan, dan semua keberagaman kebutuhan belajar anak. Namun, yang seharusnya ada adalah strategi yang dilakukan guru untuk mengakomodir segala jenis perbedaan itu untuk proses belajar yang bermakna dan menyenangkan di ruang kelas. Hal ini hanya akan terakomodir jika guru menguasai pembelajaran berdiferensiasi yang menitikberatkan pada pembedaan pengajaran (the natural of differential classroom). Hal ini dicirikan dengan adanya lingkungan kelas yang suportif bagi murid, kurikulum yang diatur sedemikian untuk mendukung pembelajaran yang fleksibel, guru mengetahui dan mengakomodir kebutuhan belajar, serta penilaian dan asesmen sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Dengan segala strategi tersebut, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman belajar kontekstual yang pernah kulakukan dengan kisah betapa terbatasnya sarana prasarana yang tersedia di sekolahku. Pengalaman belajar uji makanan sering kulewatkan karena keterbatasan alat dan bahan pada laboratorium IPA. Indikator yang tidak tersedia dan tentu saja bukan pilihan bijak jika membebankannya kepada murid. Namun, kerinduan terbesarku sebagai seorang guru tentu saja bagaimana menghadirkan kelas yang tidak sekadar menyenangkan, tetapi juga memberi pengalaman belajar bermakna yang memantik growth mindset dan proses berpikir kritis pada murid.
Aku tertantang bagaimana menghadirkan pembelajaran ini dengan pembelajaran kontekstual dengan menilik apa saja benda-benda atau bahan-bahan di lingkungan sekitar yang dengan mudah ditemukan murid untuk kami pergunakan sebagai bahan, bahkan tanpa harus keluar rumah. Aku kemudian mengaitkan kebutuhan belajar muridku dan apa-apa yang ada di sekitar rumah yang dengan sangat mudah ditemukan murid. Aku memulai dengan pembelajaran sederhana dengan mengadakan uji karbohidrat pada makanan dengan menggunakan Betadine. Ya, Betadine. Mengapa harus Betadine? Iodine adalah bahan yang dijadikan sebagai indikator bahan makanan yang mengandung karbohidrat. Betadine yang menjadi obat luka dapat diadopsi sebagai ganti iodine.
Pemilihan bahan makanan juga kupilih berdasarkan hasil asesmen murid. Mayoritas mereka tahu dengan baik nasi mengandung karbohidrat, tetapi tidak demikian dengan kentang, dan biskuit. Ini persoalan yang harus dipecahkan lewat pengalaman belajar mereka. Lalu ketika aku menawarkan akan menguji kandungan makanan tersebut dengan melakukan uji karbohidrat, murid sangat tertarik. Mereka kemudian memilih gula, telur, dan tahu akan ikut kami teliti bersama. Apakah bahan makanan tersebut juga mengandung karbohidrat.
Pemantik pembelajaran tetap pada porosku, tetapi soal proses, aku memerdekakan murid, dan ketika mereka memilih bahan makanan tersebut, why not? Aku memberi lembar penuntun praktikum setelah murid memahami teori fenomena perubahan warna pada iodine ketika bertemu karbohidrat akan berubah menjadi ungu kehitaman, sementara tidak akan berubah warna jika bahan makanan yang ditetesi iodine tidak mengandung karbohidrat sama sekali.
Meski ini penemuan konsep, aku justru lebih menekankan pembelajaran yang bermakna yang melibatkan murid—yang tidak semata menyelesaikan tagihan tujuan pembelajaran, tetapi juga menajamkan cipta, menghaluskan rasa, menguatkan karsa, dan membuat mereka bangga pada hasil pemikiran dan kreatifitasnya, juga bonding yang kuat antara antar sesama murid dan juga denganku ketika proses pembelajaran berlangsung. Ah, Kurikulum Merdeka memang sangat memberi ruang itu lewat pemangkasan materi yang tidak tanggung-tanggung.
Meski percobaan sederhana dengan menggunakan irisan tahu, kentang, telur, sebuah biskuit, sesendok gula pasir, dan sesendok nasi ini kami lakukan di atas selembar kertas HVS yang lantas ditetesi Betadine, tetapi mereka sangat menikmati detik-detik ketika warna Betadine berubah. Sebelum perubahan itu terjadi mereka tampak menatap dengan fokus pada tiap bahan uji makanan di atas kertas HVS kelompok mereka masing-masing. Ketika akhirnya mereka menyerahkan lembar pengamatannya dengan gagah dan mata berbinar, aku merasa percaya diri bahwa mereka sudah benar-benar belajar di kelasku. Sesederhana itu dan itu cukup memekarkan dadaku.
Apalagi ketika mereka dengan percaya diri membacakan hasil pengamatan mereka dan berdiskusi bersama-sama antar kelompok menentukan apakah bahan makanan tersebut mengandung karbohidrat atau tidak. Sungguh, aku melihat ketika muridku yang semula acuh tak acuh di kelas, yang menatap dengan kosong, yang kurang peduli dengan kelas, yang sepertinya merindukan tempat tidurnya, hari itu mereka tampak bernyawa di kelasku. Bahkan, muridku yang masih tergagap-gagap membaca, berani menyampaikan pertanyaannya—meski dengan malu-malu—“Gula, telur, dan tahu tidak mengalami perubahan warna, Bu. Apakah artinya tidak mengandung karbohidrat?” tanyanya. Aku mengelus punggungnya, memberi penguatan dan berbisik, “Kamu keren, Sayang.” Ia tampak menarik kedua sudut bibirnya ketika sebangkunya mengacungkan tangan dan menjawab pertanyaannya dengan antusias.
Hal yang kupelajari hari itu, selain seorang guru harus kreatif dalam menciptakan ruang kelas yang mampu mengakomodir kebutuhan belajar tiap murid yang berbeda, seorang guru juga harus mampu menjadikan pelajaran itu dalam daily sircle, bukan sesuatu yang jauh dari keseharian. Pembelajaran kontekstual tentu akan menyisakan pengalaman bermakna yang jauh lebih dalam dan bermakna. Keterampilan pengakomodiran ini adalah esensi yang dibawa pembelajaran berdiferensiasi sebagai senjata ampuh untuk menerapkan Kurikulum Merdeka yang lebih menitikberatkan pada materi-materi esensial, berpusat kepada murid, memberdayakan konteks, dan tentu menumbuhkan murid yang mencerminkan Profil Pelajar Pancasila pada dirinya.
Aku memahami pembelajaran di ruang kelas bukan semata berbicara “mengajarkan” konsep, tetapi bagaimana mencintai, mendengarkan, melibatkan, bahkan mempercayakan keputusan kelas kepada murid. Kelas yang tidak semata berpusat kepada murid, tetapi juga menciptakan support system yang bernyawa. Murid tidak butuh guru hebat, tetapi mereka butuh guru yang “mengamongi” tanpa dalih dan percaya tiap-tiap murid berdaya sesuai kodratnya masing-masing. Ini sebuah kisah yang akan terus mengamini—meski dengan segala kekurangannya—guru tidak akan pernah berhenti menjadi guru belajar sepanjang hayat.
Peperangan Melawan Penyakit Guru yang Tak (Kunjung) Sembuh
Sebagai penggerak komunitas profesi guru, kecakapan dalam memimpin dan menularkan semangat Merdeka Belajar tentu menjadi keharusan, apalagi jika bicara membersamai ruang kelas bersama murid. Meminjam istilah Vygotsky yang mengatakan guru harus mahir membangun kemampuan berpikir dan bernalar, ini tentu merupakan pondasi dalam memunculkan seni menjadi guru–terlebih untuk menerapkan strategi berdiferensiasi. Strategi ini berkaitan dengan penguasaan rupa-rupa strategi pengajaran sebagai berikut:
- Seni memvariasikan kelompok yang berfungsi berbeda-beda, mulai untuk menggali pemahaman awal (intake) sehingga memberi kesempatan murid yang belum siap bisa belajar tutor sebaya dengan sistem berpasangan. Meski dibutuhkan kejelian guru dalam proses pemasangan teman belajar, hal ini tidak sesulit yang dibayangkan jika sasaran yang ingin dicapai adalah kemampuan sosial murid–kepedulian dan tolong-menolong. Kerja sama antar murid ini dapat memberi ruang kepada guru berkeliling kelas mengamati kelompok lain dan memberi perhatian kepada yang membutuhkan.
- Seni mengajukan pertanyaan: pertanyaan-pertanyaan terbuka menjadi pilihan terbaik (Menurut kamu, apa yang akan terjadi jika kedua bahan ini dicampur? Apa hal yang sudah kamu pahami dari penjelasan Ibu tadi?), bukan sekadar pertanyaan tertutup yang jawabannya “ya”/”tidak” atau “sudah’/”belum”. Pola tanya-jawab yang baik mendorong murid melihat hubungan antarkonsep serta mengembangkan keterampilan kognitif mereka pula.
- Ilmu pengelolaan kelas, seperti: adanya kesepakatan kelas dengan menitikberatkan pada konteks dan kondisi kelas; transisi–sebagai ilmu dari pengelolaan kelas, yang memberi ruang kepada murid yang membutuhkan pendampingan yang jauh lebih lama; penataan kelas yang mengondisikan murid menjadi pembelajar mandiri dan terorganisasi (misalnya, penempatan alat peraga dan alat tulis pada area yang telah disepakati bersama. Contoh lainnya memberi akses kepada murid menggunakan alat peraga sebagai alat bantu penerapan pembelajaran berdiferensiasi). Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan kesuksesan kelas berdiferensiasi bukan tergantung pada jumlah guru di kelas, tetapi kita harus kembali kepada kebenaran: keberadaan satu orang guru yang cerdas dalam melakoni perannya sebagai pembimbing belajar murid dengan kecakapan pengelolaan kelas pun sangat memadai sebagai pelaku strategi berdiferensiasi. Persoalannya, alih-alih mau mengambil peran sebagai guru pembelajar, masih ada guru yang justru berusaha menjadikan dinamika perubahan yang diusung pendidikan kita sebagai momok dan menjadikan umur sebagai dalih untuk bermalas-malas ria. Ini serupa penyakit sampar yang melanda berkepanjangan di Oran. Tapi adalah sebuah kefatalan ketika penggerak menjadi kendur dan tidak terus memerangi momok ini dengan terus giat melakukan perubahan-perubahan. Serupa Rieux, yang meski ditolak–bahkan oleh sahabat karibnya–terus memerangi sampar, penggerak Merdeka Belajar juga harus terus fokus pada tujuan, mandiri terhadap cara, dan terus memanusiakan hubungan dengan menjadikan guru-guru yang berdalih dan bermalas-malas ria sebagai teman seperjalanan dan terus menularkan semangat Merdeka Belajar. Hal yang melegakan dada, hal-hal baik akan terus menular dan demikian yang akan terjadi pada ruang-ruang kelas, di manapun. Sebab kita juga percaya cara paling efektif mencapai tujuan adalah cara yang memberdayakan guru sebagai role model murid, yang tidak sekadar memberi contoh, tetapi juga menjadi contoh itu sendiri. Dan serupa Rieux yang berhasil memutus wabah sampar, kita sebagai penggerak juga akan mampu memutus tuntas dalih dan momok untuk mewujudnyatakan Merdeka Belajar sebagai atmosfer baru budaya belajar di Indonesia. Panjang umur perjuangan, guru belajar sampai akhir. Referensi: Maxwell, John C. 2019. Fondasi untuk Pemimpin Sukses. Good Leaders Ask Great Questions. Surabaya: Menuju Insan Cemerlang. Mohamad, Goenawan. 2021. Catatan Pinggir: Kumpulan Tulisan Goenawan Mohamad di Majalah Tempo, Januari 2019-Desember 2020. Jakarta: Tempo Publishing. Shihab, Najeela., dan Komunitas Guru Belajar. 2021. Diferensiasi Memahami Pelajar untuk Belajar Bermakna dan Menyenangkan. Kampus Guru Cikal: Literati, Imprit dari Penerbit Lentera Hati. Tomlinson, Carol A. 1999. The Differential Classroom: Responding to the Needs of All Learners. USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. Vygotsky, L. S. 1987. Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.