Merdeka Berkarya dalam Antologi Artikel Mendunia

Merdeka Berkarya dalam Antologi Artikel Mendunia

Oleh : Sri Kartini Handayani

SMA Negeri 4 Kota Medan

“Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”Pramoedya Ananta Toer (Rumah Kaca, h.352)

Hadiah yang terindah dimiliki guru Bahasa Indonesia adalah ucapan penuh semangat dari peserta didiknya karena mereka telah merdeka dan terbebas dari penjajahan pola pikir yang mereka ukir. Kenyataannya hadiah besar ini memerlukan sebuah strategi yang presisi. Sebahagian besar peserta didik tidak memiliki ketertarikan dalam hal menulis. Mental blok pernyataan menulis itu rumit bagaikan warisan turun temurun yang sambung menyambung. Sementara kita tahu imajinasi mereka (generasi zilenial) sangat kaya akan bidang yang mereka suka. Tentulah sangat kaya. Bagaimana tidak, sebahagian besar generasi zilenial menghabiskan waktu untuk menunduk dan menggenggam ponsel, jari jemari mereka begitu terampil berdansa bersama tuts memainkan Mobile Legends, PUBG, Valorant, Pokemon Unite, hingga Free Fire. Diksi mereka sangat kaya tentang dunia maya seperti Tiktokers, curcol, followers, bahkan mereka menciptakan kata-kata baru yang mendunia. Bagi Gen. Z, keterampilan menulis adalah kerja paksa dan hasil tanam paksa dari gurunya sehingga tulisan mereka kerap kali terlihat penuh derita siksa dan dianggap tidak ada manfaatnya.

Benarkah mengajak siswa untuk berkarya dalam tuliisan sungguh menyeramkan? Jawabannya bergantung pada kesungguhan kita mau atau tidak membentuk komunitas literat di sekolah tercinta. Sebagai insan dunia yang diberi tanggung jawab untuk membangun jiwa raga anak bangsa, mari kita resapi proses yang panjang ini. Ketika kita berdiri di depan ruangan, memandang dua ratus siswa yang kegirangan, dua ratus pemikiran, dan dua ratus harapan yang tidak dibunyikan, lalu kita tidak memberikan pencerahan. Begitukah naluri seseorang yang berjasa? Saya analogikan dengan tanaman. Tanaman akan tetap tumbuh memanjang dan tidak terancang. Ya, tanaman itu mengalami etiolasi (pertumbuhan tanaman yang sangat cepat di tempat gelap namun kondisi pertumbuhan lemah). Mereka terus bertambah tinggi tanpa pondasi. Bagaimana dengan anak didik kita? Kita biarkan mereka tumbuh di tempat gelap menggapai sinar matahari kemudian lulus dengan nilai baik secara akademik hanya karena mereka rajin, mengerjakan tugas tepat waktu, dan pencatatan buku yang terorganisir. Mereka memang patuh namun esensi keterampilan berbahasanya masih tidak utuh bagai kaki meja yang semestinya empat justru berkaki tiga sebab keterampilan berbahasa itu tidak ada pada diri mereka. Tidak satupun dari 4 rumpun keterampilan berbahasa, entah mendengarkan, mengucapkan, membacakan ataupun berkarya dalam tulisan. Seluruh keterampilan itu hanya berlalu bagai angin yang berhembus terburu-buru. Terlebih lagi menulis. Keterampilan menulis yang benar-benar sekadar lewat menggambarkan anak didik kita sebagai meja yang cacat. Sekalipun mereka mampu menulis, itu semua karena keterampilan mandiri bukan melalui pelatihan yang terfasilitasi.

Mari kita renungkan kembali perkataan seorang sastrawan Indonesia yang merupakan kandidat peraih Nobel, Pramudya Ananta Toer.  Beliau menyatakan bahwa menulis adalah jalan menuju keabadian. Selama kita tidak mau berkarya dalam tulisan maka nama kita akan hilang dari catatan sejarah secara perlahan. Di era digital ini, kita dapat melihat apa yang dikatakan Pak Pramudya adalah sebuah fakta. Teknologi dirancang semakin cerdas bisa membuat bangsa ini tergilas oleh tuntutan zaman yang makin tidak jelas. Terlebih lagi, para zilenial yang tidak terampil menulis namun ingin hasil yang instan mulai nekat menggunakan kecerdasan buatan seperti Chat GPT, Bing Chat atau Copilot. Semua menjadi palsu kalau kita hanya terduduk lesu. Maka ingatlah, menulis membawa kita terbang tinggi dari ketertinggalan yang mengiris. Berkarya dalam tulisan membawa anak bangsa menuju keabadian. Semangat juang yang membara membutuhkan usaha yang kian  bertambah.

Euforia gawai di dunia pendidikan tidak seharusnya ditanggapi berlebihan. Faktanya memang seperti itu. Mobile legend mewabah, komunitas gamers berbondong-bondong mengikuti lomba. Bahkan banyak penggiat gamers memanfaatkan tren ini untuk masuk ke dunia edukasi. Apakah kita akan antipati karena kita tidak mengenali zaman ini? Tentu saja tidak. Kita harus mengenali keinginan mereka. Perubahan zaman sangat pesat akibat revolusi digital yang cepat. Namun kita harus memberi keterampilan untuk mereka miliki demi keberlanjutan yang hakiki. Kita seharusnya memberi sesuatu yang membumi buat mereka. Setelah itu, kembali pada Bapak dan Ibu guru yang arif dan bijaksana.  Hendaklah kita provokasi mereka untuk berkarya melalui tulisan dengan materi akan dunia zilenial yang menyenangkan.

Saya dan rekan sejawat sudah mulai menjamah keberlangsungan karya sastra di kalangan anak muda yang rasanya mulai tenggelam dalam dunia maya. Project-based learning yang dikolaborasikan dengan kebiasaan menabung menjadikan program berkelanjutan yang menggunakan peran koin seribu dalam penyeberan karya tulis yang menderu.  

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah komunikasi yang sehat antara kita dan peserta didik. Komunikasikan dengan ringan, santai, akrab tentang proyek yang akan dilaksanakan kepada peserta didik. Hindari kalimat instruksi. Dominasi kalimat instruksi dapat membuat rencana yang matang menjadi mentah. Kita merancang proyek menulis (boleh dipilih)  antara lain opini/artikel/feature/pengalaman hidup/kisah nyata. Setelah menentukan pilihan, misalnya artikel, maka guru memberi contoh artikel karya guru atau teman guru. Untuk membelajarkan siswa makna  menulis, maka harus ada bukti kalau guru bisa menulis. Setelah kepercayaan siswa kita dapatkan, pintu terbuka lebar untuk proyek ini.

Selanjutnya, siswa diminta untuk mengajukan judul artikel dan menuliskannya secara bergantian di papan tulis. Kita akan menemukan judul-judul unik, menarik, hingga menggelitik untuk dikembangkan menjadi artikel dengan kurang lebih 800 karakter. Biasanya pada tahap ini suasana kelas menjadi ramai. Ada yang menulis judul seperti: Patahan Waktu, Zaman Geprek, Gargantua, Fraktur Radius, Horror Table, Sampah Mencarimu, Selantai Seudara, Pertengkaran Penuh Arti, Sama tapi Tak Serupa dan lain-lain.  Membaca judulnya saja kita sudah bahagia, apalagi tulisan mereka. Ada yang polos, dewasa, berfilsafat, punya perspektif berbeda sebab mereka adalah Gen Z yang beragam dan hidupnya penuh tantangan.

Kita mulai untuk mengajak mereka berselancar masuk ke dalam perpaduan dimensi nalar. Yakinkan peserta didik bahwa menulis artikel itu mudah. Sampaikan dengan bahasa yang sederhana bahwa artikel itu opini yang dituliskan seperti bercerita dengan teman tentang ide, pendapat yang penting atau istimewa yang berbentuk tulisan. Apabila Bapak/Ibu menemukan kesulitan dan siswa tersebut tidak mau mengumpulkan akibat 1001 alasan, dampingi ia. Duduklah di sebelahnya dan bimbing mereka untuk menemukan arahnya. Kesabaran dan perhatian untuk siswa dengan model seperti ini pasti ada. Minta ia berkeluh kesah tentang kesulitannya. Boleh didokumentasikan dengan cara apa saja. Satu paragraf atau dua paragraf akan dihasilkan dari duduk bersama yang sederhana. Selanjutnya lepas, biarkan ia bergerak bebas bak burung yang lepas.

Setelah menemukan gambaran umum tentang isi artikel yang dibuat siswa, selanjutnya guru menjelaskan tentang manfaat tulisan mereka ke depannya. Mau diapakan ide itu. Apakah hanya sebagai tugas umum yang tersimpan rapi di antara lembar-lembar buku yang teronggok di gudang atau karya mendunia hingga mencapai ruang semesta yang akan selalu dikenang? Setelah anak- anak terprovokasi pada pilihan kedua, selanjutnya kita bernegosiasi untuk membukukan karya artikel mereka sambil menumbuhkan budaya sederhana namun istimewa, dengan cara menabung koin seribu.

Menabung setiap hari dengan koin seribu rupiah tidaklah memberatkan bagi siswa kalau itu dijalankan dengan kesabaran dan penuh kesungguhan. Selama seratus hari siswa akan memiliki modal Rp 100.000 untuk karya yang akan mengukir nama siswa. Peran dan pesan koin seribu bisa sangat istimewa untuk menegakkan tanggung jawab kelas secara bersama. Koin yang dianggap uang receh kurang bernilai, bisa naik nilainya karena recehan ini digunakan untuk tujuan menghasilkan karya besar yang menjadi kenangan masa depan. Dengan begitu kesadaran dan literasi dalam menggunakan uang semakin terasah, disiplin, hingga kebiasaan positif dapat terasah. Selanjutnya, untuk mempermudah pengumpulan pembiayaan cetak antologi artikel diperlukan bendahara yang bekerja selama seratus hari. Tim konseptor buku antologi artikel di kelas memerlukan tenaga editor sekitar enam siswa untuk mengedit tulisan, desain, layout buku, outline atau kerangka serta publikasi buku.

Mengalami langsung proses membuat antologi artikel dan bernegosiasi dengan percetakan serta menentukan perwajahan buku, model desain, ukuran buku akan sangat membanggakan siswa sekaligus guru pembimbing. Apabila buku sudah tercetak lalu berada di genggaman anak beserta guru-guru, rasanya seperti jatuh cinta, sungguh bahagia. Kita saksikan mereka antusias membaca karyanya sendiri, berkumpul, dan mendiskusikan buku yang ada di genggaman. Aktivitas pengalaman pembelajaran di atas berfokus pada aktivitas dan partisipasi peserta didik dengan cara berkolaborasi, bertanggungjawab bersama tim, dan diakhiri dengan menghasilkan karya insani. Dari karakteristik, prosedur, dan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan siswa, hal tersebut tergolong pembelajaran Project Based Learning.

Pengalaman nyata di atas sudah dilaksanakan di SMAN 4 Medan secara berkala. Setiap tahun, muncul buku ber-ISBN karya generasi zilenial. Proses memang penuh peluh dan kesabaran tingkat peri Nirmala. Perlahan-lahan namun ada hasil nyata. Proyek ini bermula pada tahun 2016 dengan bunga rampai kumpulan dongeng SMA berjudul “Sepatu Terkurung Waktu”. Editornya saat itu  Bapak Sofyanto, seoang guru Geografi yang masuk dalam komunitas Guru Mendunia. Beliau sangat berjasa dalam karya sastra termasuk mendirikan KOPASA (Komunitas Pecinta Sastra). Batu loncatan itu melahirkan karya-karya baru hingga mulai memunculkan antologi sketsa, antologi artikel, dongeng, antologi puisi, dan cerpen.

Saya sangat bahagia akan hasil nyata proyek sastra anak-anak muda.  Tongkat estafet untuk membangun anak-anak literat melalui kolaborasi dari berbagai pihak telah mendapatkan atensi dari guru muda. Pembangunan bangsa akan menjadi hal yang istimewa. Melalui tulisan sastra, kita sebagai pendidik anak bangsa akan mewujudkan gejolak rasa cinta untuk makin mendunia dalam pembelajaran yang merdeka.

Referensi

Mursyid, Moh. 2016. Membumikan Gerakan Literasi di Sekolah. Surabaya. Ladang Kata.

Utama, Teguh W. 2020. Yuk Menulis. Surabaya.