Oleh : Tengku Wiwit Gusprianti, S.Pd
SD Negeri 026791 Binjai Timur
Sejak kurikulum merdeka digaungkan di seluruh pelosok negeri, kata diferensiasi menjadi sebuah kata yang tak asing lagi bagi kita para pendidik. Diferensiasi menjadi sebuah kata sakti, kata kunci yang wajib ada sebagai bagian dari penerapan kurikulum merdeka. Guru – guru rutin diberikan sosialisasi, baik melalui seminar maupun webinar pendidikan tentang bagaimana praktik penerapan diferensiasi dalam pembelajaran di kelas.
Pembelajaran berdiferensiasi adalah suatu pendekatan yang mengakui bahwa setiap murid memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Hal ini berdasarkan filosofi dari Kihajar Dewantara, yang mengatakan bahwa setiap anak itu unik dan terlahir dengan minat dan bakat yang berbeda sesuai dengan kodratnya (Ki Hajar Dewantara, 1928). Berangkat dari pemahaman itulah, tugas kita sebagai pemimpin pembelajaran di kelas adalah memfasilitasi seluruh murid sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Tujuan utamanya adalah agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan maksimal. Dalam memfasilitasi kebutuhan setiap murid, guru dapat menyediakan materi pelajaran, metode pengajaran, dan penilaian yang bervariasi. Pada kurikulum merdeka, hal itu disebut sebagai diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk.
Pada praktiknya, masih banyak terjadi miskonsepsi dalam menerapkan pembelajaran secara berdiferensiasi di kelas. Guru masih menganggap bahwa pembelajaran berdiferensiasi membutuhkan waktu yang lama dalam perencanaannya, dan melelahkan dalam pelaksanaanya, sehingga para guru tidak konsisten dalam menerapkannya di kelas. Guru kewalahan karena merasa harus memfasilitasi setiap karakter murid di kelas dalam satu materi pembelajaran. Selain itu, masih banyak guru yang menerapkan pembelajaran berdiferensiasi tanpa menggunakan tujuan pembelajaran sebagai acuannya, yang penting ada beberapa jenis konten, serta media pembelajaran yang dibawa ke ruang kelas. Lalu, dalam situasi yang seperti ini, benarkah diferensiasi menjadi jawaban bagi pendidikan yang memerdekakan?
Sebagai guru, saya merasa beruntung dapat belajar banyak tentang pembelajaran berdiferensiasi ini melalui program Pendidikan Guru Penggerak. Pada program Pendidikan Guru Penggerak, materi tentang pembelajaran berdiferensiasi dikupas tuntas dalam modul 2.1: Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi (Oscarina Kusuma Dewi, Siti Luthfah, 2020). Pada modul ini, para Calon Guru Penggerak diminta untuk melakukan refleksi dari diri sendiri, tentang pembelajaran yang dilakukan selama ini. Melalui refleksi ini, Calon Guru Penggerak diajak untuk melihat, bahwa setiap murid di kelas adalah pribadi yang unik. Mereka berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, pola asuh yang berbeda, gaya belajar yang berbeda, serta minat dan bakat yang berbeda. Hal itulah yang kemudian menjadi asesmen awal yang harus dilakukan oleh guru sebagai dasar pengelompokan murid. Asesmen awal dilakukan untuk memetakan keadaan murid di kelas, yang mencakup tingkat kesiapan murid, minat belajar murid, serta gaya belajar murid.
Selesai dari Program Guru Penggerak, saya mencoba menerapkan pembelajaran berdiferensiasi ini secara rutin di kelas. Hasilnya saya stress, tujuan pembelajaran yang dicapai jauh dari maksimal. Kemampuan belajar murid saya di kelas tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Lalu, apa yang salah? Saya kemudian terus menerus berefleksi, berdialog dengan diri saya sendiri, apa sebenarnya tujuan diferensiasi?
Saya kemudian menyadari, ada yang salah dalam diri saya selama ini. Benar, bahwa saya sudah belajar banyak tentang pembelajaran berdiferensiasi, dari dasar teori hingga prakti knya. Saya sudah belajar banyak tentang kurikulum merdeka, tentang pendidikan yang memerdekakan. TAPI DIRI SAYA SENDIRI MASIH BELUM MERDEKA. Bagaimana mungkin saya memerdekakan murid, jika saya sendiri masih belum merdeka dari semua ekspektasi saya pada mereka. Saya masih jengkel jika murid saya tidak juga paham dengan rumus matematika yang saya jelaskan. Saya masih marah jika melihat murid saya sibuk menggambar pada saat saya memutar video pembelajaran IPA di kelas, sama marahnya ketika murid saya lebih banyak berbicara dan bertanya, dibandingkan mengerjakan tugas yang saya minta. Padahal saya tau persis, tidak semua murid saya bercita-cita menjadi seorang ekonom kelak, sehingga dia harus menguasai rumus matematika. Tidak semua murid saya berminat menjadi dokter, sehingga harus menguasai organ tubuh manusia dalam pelajaran IPA. Ada calon seniman, calon arsitek, calon penyanyi, dan calon atlet di kelas saya. Ada murid yang senang belajar dengan cara menonton video, ada yang lebih cepat paham dengan cara bernyanyi, ada yang suka menghitung bilangan sambil bergerak aktif. Mengapa saya harus berekspektasi tinggi tentang mereka? Jawabannya adalah: SAYA BELUM MERDEKA.
Dari hasil refleksi itu, saya mengambil kesimpulan, untuk bisa menerapkan pembelajaran berdiferensiasi sebagai bagian dari pendidikan yang memerdekakan, guru harus lebih dulu merdeka. Merdeka dari semua ekspektasinya yang tinggi pada murid, merdeka dari semua tuntutannya, merdeka dan bisa melihat dari semua sudut pandang, sehingga akhirnya mampu melihat murid sebagai seorang pribadi yang unik.
Sejak saat itu, saya kembali lagi ke kelas dengan sudut pandang yang berbeda. Saya merasa lebih ringan dan santai ketika berinteraksi dengan murid. Saya melakukan kembali asesmen awal untuk memetakan murid saya di kelas. Mulai dari asesmen diagnostik non kognitif untuk mengetahui latar belakang keluarga, hobi, minat, dan bakat murid, juga asesmen dignostik kognitif untuk memetakan kemampuan awal murid. Dari sanalah kemudian dasar saya dalam mengelompokkan murid. Ada kalanya saya mengelompokkan murid berdasarkan gaya belajarnya. Di lain hari, saya kelompokkan berdasarkan minat belajarnya, dan ada juga saat dimana saya mengelompokkan murid sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Semua tergantung kebutuhan pada saat itu, dan acuannya adalah tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
Ketika saya menemukan kembali kesadaran diri saya, pembelajaran di kelas jauh lebih ringan saya lakukan. Saya tidak lagi terbebani dengan semua ekspektasi saya yang tinggi, saya tidak lagi terbebani dengan pandangan orang lain yang masih memandang kecerdasan anak berdasarkan bidang tertentu. Ketika saya menemukan kembali kesadaran diri, saya seperti berjalan kembali ke masa kecil saya, saat masih sekolah. Saya kembali mengenang, siapa saja guru favorit saya yang meninggalkan kesan yang baik hingga sekarang. Hal apa saja yang saya senangi dan yang tidak saya senangi. Bagian mana yang bisa saya teruskan ke murid saya saat ini, dan bagian mana yang harus saya hentikan di diri saya sendiri.
Lalu, apakah ketika saya sudah menemukan kembali kesadaran saya, dan kembali ke kelas dengan strategi belajar yang lebih beragam, murid saya tiba-tiba menjadi lebih pintar secara akademik? Apakah murid saya langsung menyukai pelajaran matematika? Jawabannya adalah tidak. Tapi, pelan-pelan, murid saya terlihat lebih bersemangat untuk datang ke sekolah. Tingkat kehadiran murid di kelas berubah secara signifikan. Saya juga tidak lagi banyak ngomel dan marah-marah di kelas. Kelas kami rancang bersama-sama untuk menjadi tempat yang menyenangkan. Ada aturan-aturan yang kami sepakati bersama melalui kesepakatan kelas, tentang hal baik dan yang tidak baik dilakukan. Ada konsekuensi yang harus kami jalankan jika kami melanggar kesepakatan itu. Murid terlihat lebih bahagia dengan suasana kelas kami saat ini. Bukankah esensi dari kemerdekaan yang sesungguhnya adalah menjadi bahagia?
Saat ini, sembilan bulan setelah saya selesai mengikuti Pendidikan Guru Penggerak dan sedang berproses menerapkan pembelajaran berdiferensiasi di kelas, saya kemudian diberi amanah menjadi seorang Kepala Sekolah di sekolah tempat saya mengajar. Dalam transformasi pendidikan saat ini, seorang Kepala Sekolah bukan lagi sebagai pengelola administrasi sekolah berdasarkan 8 Standar Pendidikan Nasional, melainkan sebagai penggerak. Saya kembali merasa bersyukur sudah mengikuti program Pendidikan Guru Penggerak, tempat saya belajar banyak hal untuk menjadi seorang penggerak yang sesungguhnya. Jika dulu saya hanya menggerakkan murid dan rekan sejawat, saat ini saya harus bisa menggerakkan semua warga sekolah untuk berkolaborasi dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang memerdekakan. Dan saya kembali menemukan fakta unik, ternyata tidak hanya murid yang perlu diferensiasi, guru juga butuh pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan karakter dan kebutuhannya. Ada guru yang paham instruksi dengan hanya berupa arahan, ada guru yang harus diberikan kepercayaan penuh untuk bergerak secara maksimal, ada guru yang harus rutin diberikan penguatan, diberikan pujian, dan lain sebagainya. Dua puluh kepala dengan dua puluh pendekatan yang berbeda.Tapi apapun itu tidak ada yang mustahil dilakukan. Pendekatan yang baik akan menghasilkan kolaborasi yang baik dalam mewujudkan transformasi pendidikan di lingkungan sekolah. Tujuan akhir adalah murid, murid, dan murid. Semangat dalam melakukan diferensiasi, semangat untuk mewujudkan pendidikan yang memerdekakan.
Referensi:
Kumalasari, Dyah. (2010). Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Dalam Pendidikan Taman Siswa (Tinjauan HumanisReligius). Istoria Volume VIII Nomor 1 September 2010.
Kusuma D., dkk. (2020). Modul Pendidikan Guru Penggerak: Modul 2.1 Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi. Kemendikbudristek.